Volume 5 - Perkiraan Jarak Antara Dua Insan – It walks by past
· Chapter 2: Teman yang Perlu Dirayakan
2. Masa Lalu: 27
Hari yang Lalu
Kemarin aku
terjaga sampai larut malam. Bukan karena aku sedang melakukan suatu perkerjaan
tertentu, tetapi karena besoknya libur, jadi tanpa arah aku membaca buku dan
menonton TV dalam waktu yang lama.
Aku bangun
kesiangan di pagi harinya dan melihat tidak ada orang di ruang tamu. Aku tahu
kalau ayahku sudah berangkat bekerja, tetapi aku tidak tahu apa yang sedang
kakak perempuanku lakukan. Dia mungkin di suatu tempat di dalam rumah, atau bisa
saja dia malah di suatu tempat di luar Jepang. Tanpa malu aku menguap lebar,
dan menjatuhkan diriku ke sofa.
Remotnya
berada di bawah meja yang ada di depanku. Setidaknya aku ingin menyalakan
televisi dan melihat apa yang sedang ditayangkan, akan tetapi aku tidak bisa
menemukan acara yang menarik, bahkan setelah mengganti saluran televisi beberapa
kali. Aku masih mengantuk sehingga televisinya malah menjadi sedikit
mengganggu. Aku telah membawa buku tipis yang tadinya aku baca di kamarku, jadi
aku menenggelamkan diriku ke sofa dan membuka halaman buku tersebut.
Sebelum
membaca satu kalimat pun, aku melihat cetakannya dan menggerutu kepada diriku
sendiri.
“Agak
gelap.”
Kordennya
tertutup. Biasanya aku lebih suka kordennya dibuka, tetapi karena aku sudah
sangat nyaman di sofa, bangun pun terasa sangat merepotkan. Aku meletakkan buku
di samping dan menggapai remot sekali lagi. Di atas meja ada sebuah asbak dan
sebuah kucing keberuntungan.
Kucing
keberuntungan ini merupakan benda kecil yang aneh. Aku tidak tahu kalau
pembuatannya buruk atau memang sengaja dibuat seperti ini, tetapi kucingnya nampak
seperti sedang tersenyum lebar kepada kita. Membawa sebuah koin besar layaknya kucing
keberuntungan yang lain. Meski kalau kucing keberuntungan yang lain biasanya
ada bermacam-macam kalimat yang tertulis seperti, “kebahagiaan agung,”
“keberuntungan luar biasa,” atau “kesejahteraan berlimah,” kucing keberuntungan
ini hanya bertuliskan satu kata, “beruntung.” Tentu saja, satu-satunya orang
yang membawa sesuatu seperti ini adalah kakakku, tetapi meskipun begitu, aku
penasaran di mana dia membelinya.
Isinya
kosong, dan tangannya diberi pegas sehingga bisa digerakkan naik turun. Kakakku
merubah beberapa bagiannya untuk menambahkan fitur itu. Dia mencoba membuat
supaya bisa menembakkan laser infrared. Meskipun
kau tidak bisa langsung melihatnya, dia masih mengaturnya supaya laser tersebut
bisa keluar dari mata.
“Jika seekor
kucing akan menembakkan laser, maka harus keluar dari mata.”
Ketika dia
mengatakan ini, aku tidak bisa bicara apa-apa, meski kalau dipikir-dipikir sebenarnya
tidak begitu aneh. Bagaimanapun juga, remot juga menggunakan sinar infrared. Dia pada dasarnya hanya
meletakkan remot ke dalam kucing keberuntungan tersebut.
Receivernya dihubungkan ke lampu yang ada di
atas. Ketika kita menggerakkan tangannya untuk mengundang nasib baik, sebuah
laser infrared akan muncul dari
matanya untuk menerangkan atau menggelapkan ruangan. Hasilnya, kau bisa melepas
rangkaian lampu langit-langit dan suka akan keadaan sekitar yang menjadi luas.
Kecuali sekarang, karena kita harus terus meletakkan kucing keberuntungan itu di
sana daripada rangkainnya, yang akan terus mengganggu bagaimanapun juga.
Setidaknya berperilakulah yang baik untuk menggunakan kucing yang sebenarnya
menarik ini.
Kucing
keberuntungan itu ada di sisi ujung meja, jadi aku berusaha menggapainya.
Itulah kenapa aku mengambil remotnya terlebih dahulu. Sebagai pengganti
tongkat, aku mencoba menggunakan tangan kucing keberuntungan. Sepertinya aku
bisa menggapainya, tetapi ternyata aku tidak bisa entah bagamana kumencobanya.
Kalau aku mengangkat sedikit badanku mungkin aku akan bisa menggapainya, tetapi
itu sama saja dengan berdiri. Ketika aku mencoba menunakan tanganku dengan
susah payah sambil menahan menggerakkan anggota badanku yang lain, sebuah suara
memanggilku dari belakangku.
“Jadi kau
ingin untuk menguasai seni malas-malasan seutuhnya atau apa?”
Jalan untuk
menguasai seutuhnya penghematan energi tidak akan pernah berakhir; aku bahkan
belum melihat puncak kesempurnaannya. Aku berbalik dan melihat kakakku.
Sepertinya dia sehabis mandi sore karena handuk mandinya dengan kencang ia lilitkan
di kepalanya. Dia berjalan ke dapur dan menawari, “Mau kopi?”
“Ya.”
“Oke, kalau
begitu tuangkan untukku juga saat kau membuatnya.”
Dia tidak
akan melakukannya sendiri? Lalu kenapa dia pergi ke dapur?
Karena aku jadi
mengingingkan kopi, semua tekad dan usaha yang sebelumnya aku lakukan untuk
tidak berdiri langsung sirna. Aku menampar lututku untuk memberi energi yang
aku butuhkan untuk berdiri lalu pergi ke dapur dan menghangatkan air. Kakakku
membelakangiku ketika dia memandangi kulkas dan akhirnya menemukan sebuah sandwich untuk dimakan. Aku tidak tahu
kalau ada sandwich di kulkas.
Bertahun-tahun, aku telah melihat seluruh benda yang didinginkan di kulkas itu,
dari tsukudani (teknik memasak di
mana kita menghangatkan sesuatu di kuah saus kecap untuk diawetkan dan
dimakan.) larva tawon sampai burger
kanguru. Dibandingkan makanan-makanan tersebut, setidaknya sebuah sandwich tidak begitu jauh dari hal yang
sewajarnya.
“Keringkan
rambutmu atau makan saja. Jangan lakukan keduanya.”
Aku
mengtakannya dengan sinis kepadanya karena dia masih berlilitkan handuk di
kepalanya, tetapi dia menghiraukanku. Dia mengambil sebuah telur dan
memutarkannya di bak cuci piring seperti gasing. Telurnya langsung kehilangan
keseimbangan dan jatuh.
“Oh ayolah,
apakah masih mentah?”
Dia menghembuskan nafas panjang, aku tahu dia
pasti salah mengira akan telur mentah sebagai telur yang sudah direbus. Aku
memang membuat beberapa telur rebus kemarin malam, tetapi untuk kumakan sendiri
malam itu juga. Aku pikir aneh kalau dia mengetahuinya, tetapi siapa tahu.
Mungkin dia melihat sisa makanannya atau semacamnya.
Tidak ada
lagi di kulkas yang perlu ditunjukkan. Dia menutup pintunya dengan mendorong
menggunakan punggung bawahnya lalu bertanya dari belakangku ketika aku sedang
menyiapkan kopi.
“Oh ya, demammu
sekarang sudah menghilang, ya.”
“Demamku?”
“Bukankah
itu lumayan parah?”
Aku berpikir
sejenak lalu menjawab.
“Sejak kapan
ini?”
Memang
benar; aku mengalami demam di bulan ini.
Suatu hari,
Chitanda menghubungiku, meminta tolong kepadaku karena festival musim semi
kekurangan orang. Banyak hal yang telah terjadi, tetapi singkatnya, aku pergi
untuk membantu mereka meski berujung menjadi hari yang agak aneh. Bahkan sulit
bagiku untuk mempercayai semua telah terjadi dalam rentang waktu sehari saja.
Aku masih bisa dengan jelas mengingat kejadian itu, di segala sisi dikelilingi
oleh bunga-bunga dari pohon ceri yang baru mekar.
Benar-benar
terasa dingin, apalagi setelah matahari terbenam. Meskipun aku sudah mengatakan
kalau aku kedinginan, Chitanda bersikeras mengatakan bahwa hawa dinginnya bukan
disebabkan oleh waktu itu yang sudah memasuki musim semi. Aku tidak bilang
kalau aku sakit karena itu, tetapi beberapa hari setelahnya, aku terkurung di
tempat tidurku. Sampai kakakku kembali pada malam hari, aku sendirian di rumah,
sehingga seluruh kedingingan, demam dan kelaparan membuatku terlihat sangat
menyedihkan.
Kakakku
mungkin sedang membicarakan tentang itu, tetapi itu terjadi saat liburan musim
semi. Aku memang mengalami semua itu tetapi segera sembuh sekitar dua hari
kemudian, jadi ketika aku berangkat untu upacara pembukaan aku sudah
benar-benar baikan.
“Itu sebulan
yang lalu.”
“Benarkah?
Berarti sudah satu bulan ya. Waktu berlalu sangat cepat.”
Dia
berpura-pura tidak peduli, lalu menepuk pelan kepalaku. Dia memainkan rambutku
lalu bilang, “Rapikan rambutmu.”
Aku akan
melakukannya nanti.
Seseorang
dengan sangat ramah membuatkannya kopi namun dia bahkan belum mencicipinya. Dan
tiba-tiba dia berkata, “Oh, sudah waktunya,” lalu kembali ke kamarnya. Aku
membaca kembali buku yang aku tinggalkan di sofa, namun setelah tiga puluh
menit berlalu, dia keluar dari kamarnya lagi.
“Hei, hari
ini kau juga tidak keluar, kan?”
Aku memang tidak
mempunyai rencana apa pun, tetapi aku tidak begitu senang dengan caranya
mengatakan ‘juga’. Aku menjawabnya tanpa memalingkan pandangan dari buku.
“Aku tidak ada
niatan mau melakukan sesuatu.”
“Aku
penasaran berapa banyak jarak yang telah kau tempuh sepanjang hidupmu.”
“Saudara
perlu saling mengimbangi.”
Setelah aku
mengatakan ini, dia menjawab dengan nada yang merendah diri.
“Jadi kau
mengatakan kalau kau beristirahat untuk diriku. Sungguh baiknya dirimu.”
Aku tidak
pergi dari rumah hanya untuk mengimbangi penggunaan kakakku yang berlebihan
atas bensin, bahan bakar pesawat, dan biaya perjalanan lainnya. Sebagai seseorang pendukung penghemat energi, ini merupakan bentuk
permintaan maafku kepada peradaban manusia atas perbuatan kakak bodohku ini.
“Anak kecil
yang sangat menyedihkan.”
Dia
mengatakan sesuatu yang sangat kejam.
“Yah
bagaimanapun, teruskan saja untuk tidak melanjutkan apa pun sampai jam 2:30.”
“Kau ingin
aku untuk menjaga rumah?”
“Ya. Jika
tidak ada yang datang, kau bebas untuk melakukan apa pun.”
Awalnya aku
memang tidak mempunyai rencana keluar, tetapi karena perkataan dia ini membuatku
sangat tidak nyaman. Aku melanjutkan membaca buku sambil berkata.
“Bawakan aku
sesuatu.”
Sepertinya
dia sudah mengenakan sepatunya. Suaranya menggema ke seluruh ruangan rumah.
“Aku akan
membelikanmu beberapa lilin. Kau menyukainya, kan?”
Sejak kapan?
Bagaimanapun,
karena dia menyebutkan lilin, aku tahu dia belum lupa sekarang hari apa. Meskipun
sepertinya dia tidak berniat untuk merayakannya…
Tentu saja,
ketika aku msih kecil, aku suka meniup lilin yang ada di kue.
Hari ini
merupakan hari ulang tahunku.
Apa yang dia
maksudkan dengan menyuruhku untuk menjaga rumah sampai jam 2:30? Aku meletakkan
bukuku ke sampingku, dan menjatuhkan mukaku ke sofa untuk berpikir. Dia
kakakku. Dia mungkin merencanakan sesuatu yang tidak penting. Dia memberi tahuku
untuk menunggu karena sesuatu akan datang, tetapi apa itu?
Melakukan
perayaan selagi aku di sini akan menjadi perbuatan berbudi yang dilakukan
olehnya. Karena itu merupakan perbuatan berbudi untuk dilakukannya, aku merasa
kalau itu tidak akan terjadi. Tomoe Oreki bukanlah orang yang melakukan hal-hal
semacam itu, dan bahkan jika aku salah pun, mengatur waktunya jam 2:30 di sore
hari itu terlalu tanggung.
Dia tadi memberi
tahuku, “Jika tidak ada yang datang, kau bebas untuk melakukan apa pun.” Itu
berarti mungkin yang datang adalah ‘seseorang’, bukan ‘sesuatu’. Seseorang yang
mungkin akan datang di hari ulang tahunku… Sebenarnya, mungkin salah untuk beranggapan
hari ulang tahunku merupakan hal di balik ini semua. Bisa saja hanya seseorang
seperti rentenir atau distributor informasi lingkungan sekitar yang akan datang.
Mungkin salah untuk beranggapan kalau dia mengatur ini semua. Mungkin aku
mencurigainya terlalu banyak.
Meskipun aku
mengatakan ini ke pada diriku sendiri, aku tidak bisa menyingkirkan pertanda
buruk yang bersemayam di kepalaku . Karena aku terlalu memirkan tentang
waktunya, wajar saja jika tangan kedua terlihat bergerak sangat pelan.
Aku telah kehilangan
nafsu makan, jadi aku putuskan untuk menunggu tanpa menikmati makan siang. Aku
akhirnya menyelesaikan buku yang sedari tadi kubaca, tetapi aku tidak punya
cukup waktu untuk melanjutkan kelanjutannya. Aku menyalakan televisi dan
melihat acara traveling. Beginilah diriku
melewati waktu, melihat orang asing menikmati makanan yang terlihat lezat di sebuah
restoran mewah.
Dipikir-pikir,
bagaimana dia mengatakan secara khusus “jika mereka tidak datang”, berarti
belum tentu mereka akan datang tepat jam 2:30. Dia tidak mengindikasikan waktu
kedatangan, tetapi lebih ke periode kedatangan. Contohnya, jika aku ingin memberitahu
Satoshi menggunakan kalimat persis, “Jika aku tidak datang jam 2:30, lakukan
apa pun yang kau mau,” Aku lebih condong mengatakan sesuatu seperti, “Aku
harusnya datang lebih awal, tetapi ada kemungkinan kalau aku akan terlambat. Jika
aku tidak di sana jam 2:30, anggap saja aku tidak akan datang.”
Itulah
kenapa, kalau aku mendengar dering bel jam 2 kurang 5 menit saja, aku anggap
kalau itu tidak ada hubungannya dengan tamu yang kakakku suruh tunggu. ‘Aku
penasaran mungkinkah itu seorang iblis. Atau mungkin seekor ular.’ (Peribahasa
Jepang yang berarti ketakutan akan hal yang tidak kita ketahui.) Entah kenapa,
perasaan itu mulai hadir di benakku. Aku mengenakan sepasang sandal dan turun
ke pintu masuk, mengintip lewat celah pintu.
Bukan iblis,
maupun ular. Bukan pula rentenir maupun distributor informasi lingkungan
sekitar.
“Ah, sial.
Jadi itu ya.”
Keluar
begitu saja dari mulutku sebelum aku menyadarinya.
Empat orang
berdiri di luar: Satoshi, Chitanda, Ibara, dan Oohinata.
Seakan-akan
menyadari keberadaanku, Satoshi memandang balik tatapanku lewat celah pintu.
Dia menunjukan sebuah senyuman memuakkan lalu mengangkat tangannya. Atas semua
beragam masalah yang kakakku perbuat padaku, ada satu hal yang membuatku harus
berterima kasih padanya.
Dia
menyuruhku untuk merapikan tempat tidur.
Tidak bisa
terelakkan lagi. Aku tidak bisa mengusir mereka begitu saja.
Bagaimanapun,
aku membawa mereka ke ruang tengah dan menyuruh mereka duduk di sekitar meja
yang rendah. Chitanda dan Oohinata duduk di sofa sedangkan Satoshi dan Ibara
duduk di bantal lantai.
Satoshi
memakai baju biru dan celana berkantong. Ibara memakai jaket berwarna abu-abu
dan celana pendek. Chitanda memakai kemeja rajutan berwarna buah persik dan rok
yang mencapai bawah lututnya. Oohinata memakai kaos dan celana jeans. Memandang
setelan pakaian yang tidak biasa di sekitarku ini, aku mengeluh.
“Saudara-saudara,
apa yang sebenarnya terjadi di sini ketika tidak ada aku?” (Salah satu bait
dalam puisi karya Sakutaro Hagiwara.)
“Apa yang
sedang kau bicarakan?”
Meskipun
Ibara mengenakan baju yang santun, cara bicaranya tetap saja kasar. Oohinata
mengabaikannya dan menjawab, “Oh, Sakutaro,” Satoshi pun tertawa.
“Apa kau mungkin
penasaran angin apa yang membawa kami ke sini?”
Aku diam dan
mengangguk.
Sudah pasti
kalau mereka datang untuk merayakan hari ulang tahunku. Bagaimanapun juga,
Oohinata sedari tadi membawa sebuah kotak yang ditali sebuah pita dengan logo
sebuah toko roti yang aku tahu di sini, jadi aku tidak bisa tanya kenapa mereka
datang begitu saja.
Masalahnya
adalah, Satoshi dan aku sudah saling mengenal selama tiga tahun dan tidak
sekali pun kami merayakan hari ulang tahun masing-masing. Apabila dia melakukan
ini hanya untuk bercanda, tidak mungkin dia harus membawa seluruh anggota Klub
Klasik. Hanya saja kami bukanlah kelompok yang seperti itu.
Kami memang
pernah berpergian bersama-sama, murni untuk menulis antologi. Tetapi kami tidak
sedekat itu hingga datang ke rumah seseorang sekedar untuk menghabiskan waktu. Itulah
yang kupikirkan, dan aku yakin yang lain juga berpikiran sama. Seakan-akan
untuk menutup jarak tersebut, sesuatu yang membingungkan akhirnya terjadi.
“Aku pikir
kami akan mengganggu kalau kami datang dengan tiba-tiba, tetapi…”
Perkataan
Chitanda benar-benar penuh perhatian. Aku tidak begitu terganggu, tetapi lebih
ke…
“Aku
terkejut.”
“Kupikir kau
juga begitu.”
Satoshi
mengangkat bahunya.
“Aku juga
sama terkejutnya. Membicarakannya memang menakjubkan, tetapi aku tidak pernah
menyangka kalau ini benar-benar terjadi.”
Ada dua hal
yang ini kutanyakan.
“Bagaimana
kalian tahu tentang hari ini, dan ide siapa untuk datang ke mari?”
“Yah itu
sebuah cerita yang panjang…”
Chitanda
memiringkan kepalanya seakan-akan ingin menentukan dari mana mau memulainya.
“Ketika
Oohinata bertanya kepada kami, apakah kita pernah melakukan sesuatu seperti
pesta bersama seluruh anggota klub, aku memberitahunya tentang pesta setelah
festival budaya, lalu dia bertanya kepadaku apakah kita pernah melakukan
sesuatu lagi selain itu, dan kubilang padanya kalau aku tidak bisa memikirkan
lagi yang lain, jadi dia…”
Seperti
malah dibuat-buat agar menjadi sebuah cerita yang panjang. Saat itu, Ibara
memotong dan dengan enteng mengatakan, “Ketika aku mengatakan kalau hari ulang
tahunmu hampir tiba, Oohinata bilang kalau kita harus membuatkanmu pesta ulang
tahun.”
“Kau tahu
hari ulang tahunku?”
“Hanya tahu
kalau di bulan April. Itu kan hal yang biasa kita ingat tentang seseorang di
kelas.”
“Tidak
denganku
“Itu karena
kau bukan manusia.”
Dipikir-pikir
lagi, Ibara punya banyak kesempatan untuk mengetahui hari ulang tahunk. Kami
berada di satu kelas yang sama selama SD dan SMP, terutama di SD, mereka sering
menempel poster “Siapa yang bulan ini ulang tahun?”. Jika dia ingat kalau hari
ulang tahunku di Bulan April, maka mudah baginya untuk mengecek daftar kelas
lama untuk menemukan hari ulang tahunku yang sesungguhnya.
Tanpa alasan,
bagaimanapun, dia tidak akan melakukannya. Dengan kata lain, pelakunya adalah
Oohinata.
“Jadi kau
yang merenecanakannya, ya?”
Aku menatap
Oohinata. Matanya tiba-tiba memandang sekitar ruang tengah, dan ketika matanya bertemu
denganku, dia tersenyum tanpa ragu.
“Teman perlu
dirayakan.”
Mengesampingkan
kebenaran motto tersebut, ada beberapa cara untuk merayakannya sendirian dan
tanpa diganggu.
“Dan tidak
ada orang yang akan sedih seusai melakukan pesta untuknya.”
Tidak ada
pertanda keraguan pada dirinya. Dengan mengatakan itu, dia berencana untuk
membuatku salah satu dari orang-orang bahagia tersebut. Yay.
Sayang
untuknya, karena belum ada satu orang pun yang mengatakan “Selamat Ulang Tahun”
ke padaku.
“Selepas
itu, aku terkejut kalian semua berada di sini.”
Entah
seberapa keras Oohinata mencoba untuk melakukan ide berpesta, hampir tidak
mungkin kalau semuanya setuju dengan ide tersebut. Chitanda mungkin hanya menginginkan
supaya anggota baru senang, tetapi dalam hidupku aku tidak bisa membayangkan
skenario di mana Ibara menyutujuinya. Seperti mendengar apa yang kupikirkan, gadis
yang sedang kupikirkan bertanya dengan terus terang.
“Aku akan
menonton film sore ini, jadi ini cuma sekedar untuk menghabiskan waktu sebelum menonton
film. Hanya dua jam yang akan aku luangkan untuk perayaanmu.”
Apa kau
seorang pembaca pikiran?
“Kami
membeli minuman jadi tolong ambilkan cangkir.”
Kau harusnya
juga membeli cangkir kertas… Aku melihat Satoshi membawa tas kertas yang penuh
jajanan. Daripada memakannya langsung dari tas tersebut, mungkin lebih baik
jika aku membawakannya penampan sebagai wadah. Kalau aku ingat dengan benar,
penampan kayu berada di tempat cangkir. Dan juga, jika ada kue di kotaknya
Oohinata, maka aku harus membawa pisau dan beberapa piring untuk nanti. Aku
ragu kalau kami punya cukup piring. Tentu saja kami juga butuh sendok. Membawa
garpu sepertinya juga bukan merupakan ide yang buruk.
Aku berdiri
dari kursiku dan pergi ke dapur untuk mencari ini dan itu, sebuah keraguan
tiba-tiba menghampiri diriku.
Jika ini
sebuah perayaan ulang tahun, maka aku menjadi tokoh utamanya.
Tetapi,
kenapa hanya aku aku yang berdiri dan bergerak ke sana sini?
Ketika aku
membawa peralatan dan makanan kembali ke ruang tengah, aku sadar kalau asbak,
buku yang tadi selesai kubaca dan remot televisi semuanya dibersihkan dan
ditempatkan di atas bupet. Hanya kucing keberuntungan yang tetap di tempatnya,
masih diabadikan di ujung meja, terus menunjukkan senyum menyebalkannya.
Jajanan yang
Satoshi bawa ternyata adalah biskuit-biskuit berbentuk apik. (Mirip dengan
manisan gula-gula.) Chitanda bilang, “Sepertinya enak kalau ditambah selai,”
jadi aku menyiapkan piring kecil sampai yang besar untuk jajanan dan membawa
beberapa selai mandarin musim panas dari kulas. Ketika melihat selainya,
Oohinata menyeriangi dengan bahagia.
“Oh! Itu
selai ‘MilleFleur’ kan!”
Melihat
merknya, aku bisa melihat kata “MilleFleur” tertempel. Kalau aku belum
mendengar cara yang benar untuk pengucapannya, aku mungkin akan mengatakannya
seperti “MilleFlew”. Meyakinkan untuk tidak mengungkapkan pikiran seperti ini,
aku menjawab, “Ya,” dengan dadaku yang lantang.
“Kau
mengeluarkan sesuatu seperti ‘MilleFleur’ dengan lagak biasa saja, sungguh kau
orang papan atas, jeez.”
Oohinata
yang tersenyum terlihat elok, gadis yang jujur, meski terkadang juga menjadi
seorang gadis yang tidak begitu jujur di sekitarnya. Dengan jelas curiga, Ibara
mulai ke padaku.
“Apa kau
bahkan tahu apa ini?”
“Tidak,
tidak sama sekali.”
“Lalu kenapa
kau berlagak seakan-akan kau tahu?”
“Aku hanya
ingin terlihat keren. Maafkan aku.”
Aku meminta
maaf dan bertanya ke Oohinata dari awal.
“Apa ini?”
Setelah tahu
akan kegengsianku yang kekanak-kanakan, Oohinata melihatku dengan pandangan
yang sangat dingin, meskipun begitu ia kembali seperti sedia kala dan mengambil
botol selai tersebut.
“Ini merupakan
sebuah perusahaan khusus selai. Sangat terkenal. Aku dulu pernah membeli satu,
dan, sesuai dugaan, rasanya sebanding dengan harganya yang mahal.”
“Jadi ini
mahal, ya?”
Aku berkata
tanpa berpikir sambil melihat selainya.
“Yah, tidak
begitu. Setidaknya, mahal untuk ukuran selai.”
Aku tidak
bisa membayangkan Oohinata yang berbaju sederhana dan berkulit coklat ini pergi
ke toko khusus untuk membeli selai. Aku tahu aku salah untuk menilai buku dari
sampulnya, tetapi tetap saja…
“Aku
penasaran apakah ini perbuatan sia-sia untuk memakan selai enak seperti ini
dengan biskuit biasa.”
Saat Satoshi
menyuarakan pendapatnya, Chitanda meresponnya dengan senyuman kecil.
“Seharusnya
tidak apa-apa, kan?”
Dan dengan
itu, maka tidak apa-apa.
Oohinata
bilang kalau dia sudah membawa korek api, jadi aku beranggapan kalau korek
tersebut digunakan untuk menyalakan lilin kue ulang tahun. Persiapannya sudah
siap, tapi kuenya mungkin nanti.
Minuman yang
Ibara siapkan adalah jus buah persik putih bersoda yang tidak hanya mewakili
minuman beralkohol, akan tetapi botolnya juga mirip.
“Ayolah
Hotarou, pasti kau punya sesuatu yang lebih hebat dari ini semua.”
Pergi ke
dapur sekali lagi karena ucapan Satoshi, aku mengambil beberapa gelas yang belum
digunakan karena untuk keperluan tamu yang bahkan belum dikeluarkan dari
kardusnya. Gelasnya pendek dan tidak ada gagangnya. Desain yang terukir
bersinar seperti kristal.
“Apa lagi
itu?”
Ibara
bertanya sambil memiringkan kepalanya.
“Cangkir,” Aku
memberitahunya, tapi seperti biasa, dia tidak mendengarkannya.
“Bukan gelas
minum, bukan pula gelas berbentuk piala…”
“Apakah itu
gelas Kiriko?” (Jenis gelas di Jepang.)
Oohinata
sendiri yang menebaknya, akan tetapi sepertinya tebakannya salah.
“Hanya
sebuah hiasan. Eh tidak, bentuk gelas ini disebut apa ya?”
“Di kardus
tertulis gelas whiskey.”
Wajah Ibara
terlihat sedikit jengkel.
Menurutku
gelas dengan gagang yang panjang akan lebih cocok, tetapi di rumah ini tidak
ada yang bisa digunakan sekarang. Mungkin sebenarnya ada berserakan, tetapi sekalipun
begitu, aku tidak tahu gelas-gelas tersebut berserakan di mana. Masalahnya
menjadi semakin rumit, aku hanya bisa menemukan empat gelas whisky, yang berarti…
“Tunggu,
apakah cuma Oreki-san yang menggunakan cangkir biasa?”
…sesuatu
seperti itu akhirnya terjadi. Entah bagaimana kau melihatnya, ini merupakan
cara yang buruk untuk memperlakukan tokoh utama hari ini.
Ketika
jusnya sedang disiapkan, Oohinata berbicara.
“Kalau
begitu, seseorang harus memulai ucapan selamat.”
Satoshi dan
Ibara saling bertukar pandang lalu melihat ke arah Chitanda, seperti sudah
direncanakan. Mungkin paham kalau hanya dia yang dipilih, Chitanda mengambil
gelas tanpa melihatnya seakan-akan dia ingin menolaknya.
Tersenyum
ambigu yang mengisyaratkan kalau dia tidak tahu bagaimana cara melakukan hal
seperti ini, Chitanda memulai pidatonya.
“Umm, hari
ini adalah ulang tahun Oreki-san, jadi mari kita rayakan. Aku harap aku bisa
memberimu sebuah hadiah, tetapi karena waktunya mendadak, aku harus minta maaf
karena tidak bisa memberimu hadiah.”
“Kehadiranmu
sudah cukup kok.”
Orang yang
mengatakan itu bukanlah aku, melainkan Satoshi. Mendengarnya memalsukan
perasaan orang itu sungguh menyebalkan.
“Mendengar
itu membuaku lebih baik.”
Dan
mendengarnya merasa lebih baik setelah pemalsuan tersebut juga sama-sama menyebalkannya.
“Dari kita
semua, kau orang tercepat yang menginjak umur 17 tahun. Jadi, umm… selamat.
Bersulang.”
Kami
mengangkat empat gelas whiskey dan
satu cangkir lalu dengan pelan menyentuhkannya bersama. Meskipun ulang tahun
ini seharusnya diperuntukkan untukku, Oohinata terlihat sebagai orang yang
paling bahagia.
Itu adalah
saat di mana kekhawatiranku menghilang.
Bukannya aku
sangat ingin diberi ucapan selamat atau apa, tetapi lebih ke, aku cemas kalau
mereka hanya berencana untuk makan dan minum, lalu lekas pulang ke rumah.
Sekarang mereka sudah bersulang, bagaimanapun ulang tahunku sudah berjalan
dengan baik.
Akan tetapi,
ada satu hal lain lagi yang menggangguku.
Kucing
keberuntungan.
Kenapa masih ada di meja? Ketika aku sedang mengambil piring
dan sendok-garpu, mereka merapikan meja untukku. Mereka lalu meletakkan
semuanya ke bupet, akan tetapi, hanya kucing keberuntungan tersebut yang tetap berada
di meja.
Aku
penasaran mungkinkah itu kebetulan. Tidak, semua yang ada di meja itu
mengganggu, sehingga harus disingkirkan. Meskipun mereka berencana untuk
menyebar makanan pada meja, mereka harus melakukanya sambil menghindari kucing
keberuntungan. Mungkinkah ada juga orang yang penasaran kenapa kucing
keberuntungan itu masih ada di situ?
Aku telah
membuat kesalahan. Karena tanpa banyak berpikir mengeluarkan selai mandarin musim
panas ini tanpa mengetahui betapa mengesankannya selai itu. Untungnya
percakapan itu menjauhkannya dari selai tersebut.
Mulai
sekarang aku harus berhati-hati.
Biskuitnya
Satoshi sedikit asin, dan hasilnya, sangat cocok dengan selai tersebut. Kurasa
selama ini aku lebih suka yang manis-manis, tetapi rasa pahit dari selai
mandarin musim panas ini terbukti sangat menyegarkan; bagaimana ya aku harus
mengungkapkannya—sesuatu yang lebih mirip epee
dibandingkan foil. (Keduanya
sama-sama nama alat untuk membuat pagar, epee
lebih berat dan kaku sedangkan foil
lebih enteng dan mudah digunakan.)
“Fukube-senpai,
kau sudah pernah datang ke sini untuk sekedar bermain, kan?”
Saat
Oohinata menanyakan ini, Satoshi menghadapku.
“Aku rasa
belum.”
“Belum.”
“Aku pernah berada
di sekitar sini, tetapi kami berdua bertemu di taman sekitar sini. Aku pikir
aku sedang meminjam sesuatu darinya.”
Aku
memalingkan kapalaku. Seperti yang dia katakan, aku menyuruh Satoshi menunggu
di taman dekat sini sedangkan aku pergi ke situ dari rumahku. Akan tetapi…
“Apa kau
yakin? Aku tidak begitu ingat kalau kau pernah mengembalikan sesuatu.”
Hanya
sekitar dua tahun yang lalu dan aku sudah tidak begitu mengingatnya dengan
baik. Tentu saja ingatan samar-samar ini tidak bisa begitu dipercaya, tetapi
aku tidak bisa menahannya apabila pendapat kita berbeda. Setuju dengan hal
tersebut, lalu Oohinata bicara, “Mungkin kau datang dua kali, untuk meminjam dan
untuk mengembalikannya.”
Tentu saja,
sungguh sebuah pendapat yang sangat masuk akal.
“Tetapi kau
belum pernah benar-benar ke sini, kan?”
“Aku tidak
merasa kalau pergi ke rumahnya akan membuat kita melakukan apa yang kita
perlukan.”
Oohinata
mengatakannya dengan lirih dan ragu lalu mengantarkan gelas whiskey ke bibirnya.
“Kau sangat
berterus terang. Jika itu aku, aku akan lebih mengatakan sesuatu seperti ‘aku
cuma menjadi seorang pengganggu,’ tetapi kurasa karena memang itu dirimu.”
Satoshi
menjawabnya dengan memiringkan kepalanya.
“Aku ragu
kalau memang seperti itu. Aku tipe orang yang menjaga kenalan kecil dan puas
akan hal itu, jadi jenis-jenis tentang gambaran umum itu tidak berlaku untukku.”
(Referensi dari salah satu bagian buku Zhuangzi:
Orang berbudi luhur menjaga kenalan seenteng air, orang berpikiran sempit
menerima kenalan semanis anggur.”)
“Jenis yang
mana?”
“Semuanya.”
Aku bisa
setuju dengan itu.
“Aku tahu,
kurasa orang-orang seperti itu memang ada.”
Oohinata
sedang berpikir. Berpendapat sebagai seorang laki-laki, secara pribadi aku
tidak merasa kalau Satoshi dan aku condong sebagai ‘kenalan kecil’ dari segala
derajat. Mungkin biasa saja. Jika aku harus menamakannya, meskipun Oohinata
tomboy, bisa saja benar-benar tidak ada orang yang bicara dengan mudah akan
hal-hal tersebut.
Oohinata
memasukkan biskuit ke mulutnya, lalu mengangkat kepalanya dan bertanya lagi.
“Bolehkah
aku bertanya? Kamarmu seperti apa?”
Kamarku,
hah? Aku mulai memberanikan diriku.
“Agak biasa.
Ada sebuah kasur, sebuah meja tulis, dan sebuah rak buku.”
“Tidak dihias
dengan apa pun?”
Aku merasa tidak
pernah mengatakan apa pun tentang kamarku, tetapi aku yakin setidaknya ada
sesuatu yang menempel di dinding. Dengan diam aku mengingat jikalau memang ada,
tiba-tiba Ibara mengatakan sesuatu yang tidak penting sambil mengelus-elus
kepala kucing keberuntungan itu.
“Sudah cukup
sampai di situ, Hina-chan. Bahkan orang ini terkenal akan privasinya.”
Lalu dia
memandangku dan menunjukkan senyuman dingin.
“Lagi pula,
itu kamar laki-laki, jadi aku yakin kau bisa membayangkan benda-benda apa saja yang
ada di situ.”
Aku tidak
begitu yakin apa yang Ibara bayangkan, tetapi tidak ada yang bisa membenarkan
senyuman penuh jijik yang mengarah kepadaku itu. …Yah, setidaknya tidak begitu
banyak.
“Aku
benar-benar tidak bisa membayangkan apa pun.”
Saat
Oohinata mengatakan ini, Satoshi menjawab dengan sebuah senyuman.
“Berbagai
hal seperti buku pelajaran.”
Aku juga
menambahkan.
“Juga buku
referensi.”
“Kamus juga,
kan?”
“Tentu saja.”
Ibara
terlihat kagum.
“Kalian
bodoh atau bagaimana?”
Biskuit yang
ada di depan kami perlahan semakin sedikit. Aku sebenarnya tidak menyangka
kalau itu semua akan dimakan, tapi kalau memang akan dimakan semua, kuenya maka
akan muncul setelah itu. Saat aku menggapai biskuitnya, tiba-tiba tersadar
kalau aku belum makan apa apun untuk makan siang. Lalu aku berpikir.
“Ngomong-ngomong,
apakah kalian sudah makan?”
Jawabannya
bermacam-macam.
Chitanda
menjawab, “Sedikit.”
Oohinata
menjawab, “Aku sudah.”
Ibara
menjawab, “Aku makan paginya terlambat, jadi belum .”
Satoshi
menjawab, “Aku belum.”
Karena di
saat yang sama selain menjadi tokoh utama dan
tuan rumah, mungkin sudah kewajibanku untuk menawari sesuatu.
“Kalau
begitu, kita bisa membeli pizza.”
“Eh?! Tetapi
aku tidak enak kalau kau menraktir kami.”
Chitanda
mencoba untuk bijaksana, tetapi tentu saja tidak mungkin kalau aku akan
menraktir mereka.
“Tentu saja
kita akan patungan.”
“O… oh,
tentu saja.”
Saat itu,
Satoshi juga berbicara.
“Aku setuju,
awalnya aku juga berpikir akan bagus kalau kita membeli pizza. Bagaimanapun
juga, akan sempurna jika ada banyak orang untuk makan. Tetapi aku lupa akan
sesuatu.”
“Apakah toko
pizzanya tutup?”
“Jika toko
pizza tutup pada hari Sabtu akankah mereka mendapat uang? Tidak, jadi…”
Dia menatap
sekilas Ibara. Dibandingkan dengan Satoshi yang ragu-ragu, Ibara berbicara
dengan berterus terang.
“Aku alergi
keju. Maaf.”
“…Oh,
baiklah. Aku tidak tahu.”
“Akan lebih
mengejutkan kalau kau tahu kesukaanku.”
Pernah ada
keju saat makan siang di sekolah, jadi tidak begitu aneh kalau aku
mengetahuinya, tetapi meski begitu, aku tidak tahu. Dia pernah memberitahuku,
tetapi kurasa aku tidak begitu memperhatikan.
“Kau juga
tidak tahan dengan keju?”
Saat
Oohinata mengoleskan banyak sekai selai dengan bagus pada biskuit lalu
memasukkannya ke dalam mulut dengan cara yang sama bagusnya, tiba-tiba dia
memajukan badannya ke depan karena penasaran.
“Ya,
sedikit. Bukannya aku alergi, tapi rasanya aku hanya tidak bisa memakannya saja.”
“Karena
rasanya?”
“Mungkin
karena baunya. Kalau itu sesuatu seperti keju yang dingin dan dipotong dengan
dengan kecil, maka tidak terlalu bau, tapi aku tidak tahan bahkan untuk sekedar
mendekat kalau sudah dimasak. Kau juga tidak menyukainya, Hina-chan?”
Saat
mendengar ini, Oohinata tersenyum lebar.
“Ini cuma
sesuatu yang temanku bilang padaku, tetapi orang benar-benar harus membuang
jeruk mandarin dan susu yang sudah busuk.”
Aku
penasaran jika Oohinata mempunyai kebiasaan membawa-bawa temannya ketika dia
tidak bisa memikirkan cara yang baik untuk mengatakan sesuatu. Sesuai dugaan,
Ibara kembali tersenyum dengan terpaksa.
“Rasanya
lega punya jawaban tepat, tetapi masih sedikit menggagguku kalau itu menjadikan
kelahanku. Aku harus terbiasa dengan itu seiring aku menjadi dewasa.”
Jika Ibara
menjadi seorang pertapa di Pegunungan Pyrenees (Bentang pegunungan pembatas
antara Perancis dan Spanyol.) Dia bahkan mungkin akan mendapatkan pencerahan
mengenai sesuatu yang berhubungan dengan keju. Legenda di sekitar Pabrik Harian
Ibara dan bagaimana merek mengambil alih dunia dari produksi keju dengan badai
yang akan di sana-sini. Mungkin.
Jika dia
cuma tidak suka rasanya, maka tidak masalah selama dia tidak memakannya, tetapi
masalahnya adalah karena dia tidak menyukai baunya, bahkan memesan pizza saja
susah. Menilai karena semua toko pengirim pizza selalu memasukkan ke kotak pos
kami, jadi mungkin saja kalau pizzanya tidak menggunakan keju, tetapi aku tidak
begitu sangat menginginkan pizza sampai aku berharap akan kemungkinan tersebut.
Terlebih lagi, biskuitnya secara tidak terduga lumayan membuat kenyang.
“Bagaimanapun,
Oreki-senpai, kau sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang Ibara-senpai,
ya. Meskipun kau bersamanya saat SD?”
“Lumayan.”
“Kenapa kau
membual tentang itu?” potong Ibara.
Bukan itu
yang aku maksudkan.
Oohinata,
yang dengan cepat menggapai piring jajanan, tiba-tiba berhenti. Dia mulai
memandang Ibara dengan ekspresi ragu.
“Mungkinkah
itu artinya apa yang aku pikirkan? Kau juga belum pernah ke rumah ini,
Ibara-senpai?”
“Tentu saja
belum. Hanya karena kita bersama di daerah sekolah yang sama bukan berarti
rumah kita dekat.”
“Benarkah?
Tunggu, tetapi…”
“Kita semua
sampai ke sini bahkan tanpa sedikit pun tersesat. Kupikir salah satu dari kita
sudah pernah ke sini sebelumnya.”
Aku merasa
kalau waktunya berhenti sesaat.
Jadi
akhirnya seperti ini.
Pindah dari
percakapan tentang kamarku, dan belum mendekat ke diskusi akan arti dibalik
kucing keberuntungan. Berpikir kalau akhirnya sampai ke arah itu setelah aku
membawa sesuatu seperti pizza, sungguh di luar perkiraan.
Karena aku
tidak tahu sesuatu seperti kesukaan makanan Ibara, yang berarti tidak ada
ikatan yang begitu kuat antara kita berdua, maka dari itu, dia belum pernah ke
rumahku sebelumnya, huh? Aku tahu; terikuti secara logis. Yang artinya, aku
telah menggali kuburanku sendiri.
Masihkah ada
kesempatan bagiku untuk mengganti topik pembicaraan?
Tidak,
mungkin sudah terlalu terlambat. Percakapannya sudah mencapai titik di mana tidak
bisa kembali. Jika aku memaksa untuk mengganggu alur percakapan, mereka akan
penasaran kenapa aku mencoba merubah topik dan akhrnya malah menjadi penasaran
yang tidak perlu. Pertanyaan Oohinata hampir mendekati rahasia yang ditunjukkan kucing
keberuntungan. Bagaimanapun, semuanya hanya masih sebatas ‘hampir’. Bukan
petunjuk langsung.
Sangat
menyakitkan, tetapi hal yang bisa kulakukan hanyalah mundur dari percakapan
sambil berdoa supaya mereka lekas membicarakan hal yang lain.
Andai saja
dia memahami ini.
Ibara
melihat Satoshi.
“Itu, yah,
kau tahu. Fuku-chan menunjukkan kita jalannya, kan?”
Satoshi
terlihat bingung, dan menjawab, “Aku hanya mengingat petanya. Lingkungan ini
sedikit membingungkan, tetapi aku lumayan pandai untuk mengingat berbagai hal.
Meski selagi aku mendapatkan petanya…”
“Aku
menyiapkannya,” Sisip Chitanda.
“Benar. Aku
mendapatkannya dari Chitanda.”
Dia
mengeluarkan peta dari sakunya dan menunjukkan ke kami semua. Bukan salah satu
peta hebat yang menunjukkan banyak detail tentang semua daerah, tetapi lebih ke
peta satu daerah kota. Lokasi rumahku ditandai dengan pulpen merah.
“Oh, itu
benar. Itu karena Chi-chan pernah ke sini sebelumnya.”
Saat
mendengar ini, Chitanda mengeraskan badannya.
“Ingat?
Tahun kemarin. Saat Irisu-senpai datang ke kita saat liburan musim panas untuk
meminta pendapat kita tentang videonya, Chitanda datang ke sini untuk
menjemputnya, iya kan?”
“Ah, tidak,
itu…”
Dia punya
ingatan yang kuat. Chitanda datang menjemputku setelah mendengar Satoshi kalau
aku berniat untuk tidak ikut-ikutan, akan tetapi saat itu…”
“Aku bisa
dekat karena arahan Fukube-san, tetapi aku belum pernah benar-benar sampai ke
rumah.”
Aku menerima
sebuah telpon saat itu: “Aku datang menjemputmu, tetapi sepertinya aku
tersesat, jadi tolong datang jemput aku.” Aku bisa segera menemukannya, tetapi
dia bahkan tidak melihat depan rumahku hari itu.
“Aku tahu
alamatnya, akan tetapi, selama aku punya peta, aku akan bisa menemukannya.”
“Jadi
begitu.”
Oohinata
tersenyum cerah seakan-akan puas dengan penjelasan itu.
“Kau akan
bisa tahu kalau kau tahu alamatnya, kan. Contohnya, seperti…sesuatu seperti
itu.”
Saat dia
mengatakan itu, wajahnya mulai menjadi gelap.
“Sesuatu?
Apa itu, tepatnya?”
Sepertinya
kelas satu ini menemukan sesuatu yang aneh. Tidak ada satu pun kesamaan di
antara mereka, tetapi entah bagaimana, melihat Oohinata dan Chitanda saling berdampingan
di sofa seperti itu mengingatkanku akan saudara.
“Oh! Kartu
tahun baru!”
Saat
Oohinata mengatakan ini, wajahnya langsung cerah, Satoshi menjawab dengan
jawaban tidak perlu.
“Meskipun
begitu, Houtarou tidak melakukan hal-hal seperti itu.”
Tidak benar.
Sebenarnya aku dulu pernah mencoba mengirimkannya beberap, tetapi aku akhirnya
juga mengalami masalah yang sama. Aku tidak tahu alamat mereka.
“Benarkah?”
Lupa
sementara akan usahanya supaya sopan, dia melihatku dengan wajah tidak percaya.
“Setidaknya
sudah jelas kalau orang-orang harus mengirim kartu tahun baru pada temannya.”
“Tidak apa.
Bagaimanapun kami semua saling bertemu di penghujung tahun baru. Kartu tahun
baru hanyalah pengganti bagi orang-orang yang tidak bisa bertemu.”
“Mungkin
benar, tetapi bukankah satu-satunya alasan kita bisa menyapa Oreki-san karena
sebelumnya aku sudah meneleponnya?” kata Chitanda tanpa menyadarinya.
Satoshi
menurunkan biskuit yang sudah ia gerogoti dan mulai tersenyum.
“Ah, tahun
baru ini benar-benar luar biasa, kan? Bagaimanapun juga, bahkan Mayaka…”
Satoshi berhenti bicara karena merasakan tatapan galak Ibara. Meskipun mungkin
dia tidak dipaksa untuk melakukannya, pekerjaan paruh waktu Ibara sebagai
seorang miko (pelayan kuil) di kuil terus membuatnya malu. Tentu
saja, Oohinata tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kenapa
tentang Ibara-senpai?”
“Tak usah
dipikirkan. Kita sedang membicarakan alamatnya Oreki, iya kan?”
Dia memaksa
mengembalikan percakapan ke jalur sebelumnya. Aku bisa saja mengubur topik
bahasannya dengan membicarakan lagi tentang apa yang terjadi di tahun baru,
tapi jika aku melakukannya, Ibara pasti akan memandang sinis ke arahku.
Sepertinya juga bakalan tidak mengenakkan.
Aku muak
akan ini, tiba-tiba Ibara terlihat blank dan sepertinya heran kenapa dia tidak
menyadari sesuatu yang sangat sederhana sampai titik ini.
“Bagaimana
dengan daftar kelulusan? Kalau tidak salah, tertulis di sana.”
“Oh iya.
Masuk akal juga,” Oohinata mengangguk, lalu memiringkan kepalanya sekali lagi.
“Tapi
Chitanda-senpai tidak sekolah di SMP Kaburaya.”
“Tidak, apa
yang dia katakan betul.”
Chitanda
akhirnya mengatakannya.
“Oreki-san
mempunyai teman dari SMP bernama Souda-san. Aku sudah sering ke rumahnya, jadi
aku memintanya untuk meminjam buku kelulusan.”
Dengan ini,
Ibara dan Satoshi menaikkan suaranya di saat yang sama.
“Jadi
begitu. Seharusnya kau memberi tahu kami.”
“Benarkah?
Seharusnya kau memberi tahu kami.”
Sembari dia
dimarahi oleh dua orang ini, Chitanda dengan tidak biasanya mundur, terlihat
malu.
“Aku berniat
untuk meminta dari kalian berdua, tetapi aku terus melewatkan kalian, dan aku
lupa semuanya saat di ruang klub… Lalu tiba-tiba, ada urusan yang harus
dikerjakan di rumahnya Souda-san.”
“Sekarang
kalau dipikir-pikir, Souda-san berada di kelas kita, kan? Meskipun, dia
sepertinya tidak menilaiku sebagai orang yang kenal dengan Oreki.”
Tentu saja,
tidak tepat seperti itu juga. Meskipun dia tipe orang yang menjaga jarak, dia
benar-benar pandai bermain bola. Ada sejarah panjang tentang meminjamkan dan meminjam buku antara kita
berdua.
“Bukannya
orang tuanya lumayan terkenal?”
“Mereka
berada di ibu kota. Meskipun mereka sama sekali tidak melakukan kepentingan
pribadi juga.”
Menghembuskan
pipinya, Satoshi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan berlebihan.
“Itu
kebaikan Chitanda untukmu. Aku tahu kau luar biasa, tetapi mengetahui salah
satu teman SMPnya Houtarou. Kau benar-benar membangkitkan rasa hormat.”
“Tidak, itu
cuma kebetulan.”
“Mungkin kau
sudah pernah mendengar rumor tentang masa lalu gelap dan misteriusku juga.”
Seakan-akan
untuk membuat Satoshi mengabaikannya, Chitanda dengan anggun meletakkan telapak
tangannya ke atas pahanya dan tersenyum.
“Aku tahu.
Contohnya, sesuatu seperti rumor tentang bagaimana kau mulai menyanyikan sebuah
lagu setelah lupa untuk mematikan micnya
di ruang siaran radio? Tidak, aku belum pernah mendengar sesuatu seperti itu.”
Setelah beberapa
detik, Ibara tertawa.
“Hahaha, itu
benar! Itu memang terjadi.”
Itu terjadi saat
musim gugur kelas tiga SMP. Cerita yang menghibur juga menyedihkan.
“Chi-chan,
aku terkejut kau tahu banyak tentang hal seperti itu. Aku bahkan tidak
mengingatnya sampai kau menyebutkan itu.”
Satoshi,
yang terus masuk ke belukar untuk disapa oleh seekor ular, duduk tanpa
mengatakan satu kata pun, dengan wajahnya terus membeku dengan senyuman
menyindirnya. (Peribahasa Jepang yang artinya mengalami sesuatu yang buruk sambil
melakukan hal yang tidak perlu.) Satoshi bisa sabar menghadapi sangat banyak
candaan yang tertuju kepadanya, tetapi sesuai dugaan, sepertinya kejadian itu
tetap sebagai kelemahan yang ia tak sukai.
Dari hatiku
aku minta maaf terhadap Satoshi. Bagaimanapun juga, orang yang memberi tahu
Chitanda akan hal ini adalah aku.
Dengan itu,
meskipun aku tidak mempunyai hati yang kejam dengan menghabisinya dengan
memberi tahu Chitanda lagu apa yang ia nyanyikan, yang saat itu merupakan percobaan
yang payah untuk hip-hop.
Akan tetapi,
saat Chitanda dengan sederhana terus menyangkal pujian Ibara, bagiku aneh
melihat Oohinata, yang duduk di sana dengan mata terbuka lebar karena terkejut,
dengan mulutnya menganga.
Waktu untuk
kue semakin dekat, aku mulai membersihkan penampan jajanan dan piring kecil
untuk selai. Setelah menyelesaikan perjalanan bolak-balikku antara ruang tengah
dan dapur, hanya tersisa kucing keberuntungan yang tersisa di meja. Cukup wajar
kalau ada beberapa selai yang berceceran entah bagaimana berhati-hatinya kita
makan, jadi aku membawa lap dapur. Saat aku mengelapinya, bicara begitu saja,
“Ini mengganggu, iya kan,” dan kupindahkan kucing keberuntungan tersebut ke bupet.
Aku merasa
lega. Selama aku bisa menyingkirkan itu dari meja, aku bisa istirahat dengan
mudah. Bahaya akhirnya terlewat.
Aku juga
mengeluarkan piring untuk kue serta pisau dan garpu. Jus anggur mungkin tidak
begitu cocok dengan kue. Aku diberi tahu kalau sesuatu seperti kopi atau café au lait (Kopi Perancis dengan
susu.) akan cocok, jadi aku pergi ke dapur sekali lagi dan menunggu di sana
supaya airnya mendidih.
Seseorang
tidak bisa melihat wajah yang biasanya dia gunakan, sehingga, aku tidak tahu
apakah wajahku datar atau tidak. Aku tidak berpikir kalau wajahku tidak begitu
mudah untuk dibaca. Ketika Satoshi dan Ibara, terutama Oohinata, membicarakan
alamatku, aku pensaran apakah mereka sadar perasaanku seperti aku sedang
berjalan di es tipis dengan berbahaya.
Aku sudah
menyiapkan cangkir-cangkir kopi. Kopi instant
tidak begitu tepat untuk menjamu
tamu yang terhormat, tetapi itu kesalahan mereka karena datang dengan sangat
tiba-tiba, aku tidak bisa diganggu. Aku melanjutkan melihat ceret dalam diam,
menunggu sampai berbunyi. Dalam pengalamanku, pandangan manusia tanpa disangka mengganggu
panasnya air. Selama aku terus melihat ceret, air di dalam tidak pernah
mendidih. Jika aku memalingkan mataku untuk sedetik saja, pasti ceretnya akan
langsung berbunyi. Tentu saja, sebagai seorang penghemat energi, akan lebih
bagus untuk memalingkan wajah, tetapi tidak ada apa pun untuk dilihat.
“Oreki-san,
lapnya.”
Ketika aku
berbalik, aku melihat Chitanda membawa lap dapur.
“Oh, bisakah
kau meletakan di ujung bak cuci piring di sana itu untukku?”
Aku kembali
melihat ceret. Aku menganggap Chitanda masih di sana, jadi aku mulai bicara.
“Kau tetap
diam tentang itu, huh.”
Mengikuti
keheningan sesaat, aku mendengar jawaban yang sepertinya tenggelam oleh suara
berisik dari hembusan ventilasi.
“Iya. …Aku
rasa kesempatannya terlewat begitu saja.”
Sebelumnya,
Chitanda mengatakan kalau dia tahu alamatku dengan mengecek daftar kelulusan
dari SMPku. Dia diberitahu oleh temanku, Souda. Memang benar kalau aku pernah
mempunyai teman kelas bernama Souda. Aku tidak tahu dia pergi ke SMA mana
setelah itu, tetapi yang penting bukan SMA Kamiyama. Mungkin benar Chitanda
meminta Souda untuk menunjukkan kepadanya daftar kelulusan tersebut.
Bagaimanapun, apa yang dia katakan agak akurat, dan Chitanda juga tidak begitu
pandai membuat alasan.
Akan tetapi,
itu bukan fakta keseluruhannya.
Satoshi
belum pernah ke rumahku sebelumnya. Tentu saja, Ibara juga.
Liburan
musim panas kemarin, Chitanda berhasil sampai ke dekat rumahku tetapi bisa
sampai ke rumah juga bukan kebohongan.
Akan tetapi,
tidak ada yang bilang kalau dia datang hanya sekali. Chitanda pernah datang ke
sini sebelumnya. Chitanda menyerahkan peta ke Satoshi, tetapi meski dia tidak
menyerahkan itu, dia akan dengan mudah menemukan jalan ke sini sendirian.
Aku
mendengar sedikit suara tidak puas.
“Tetapi kau
juga tidak mengatakannya.”
“Aku rasa
kesempatannya terlewat begitu saja.”
Sesuatu yang
keluar dari mulut ini.
Festival
yang Chitanda ikuti kekurangan peserta, dan karena bajunya pas denganku, aku
dipaksa untuk membantu. Festivalnya berjalan tanpa suatu halangan, tetapi hari
itu dingin. Sehingga aku menjadi demam.
Tentu saja
Chitanda, sebagai orang yang meminta bantuanku, tidak bisa tinggal diam setelah
mendengar aku terus terbaring di tempat tidur. Ketika dia menelepon rumahku di
pagi hari dan mendengar kondisiku dari kakakku, dia segera datang mengunjungi.
Dia memberi selai mandarin musim panas. Dia memberi tahuku kalau mencampurkan
dengan sedikit teh hitam akan bagus ketika demam. Aku tidak begitu suka minum
teh hitam, akan tetapi, setelah itu aku diberi mangkuk kecil dan menjilatinya
begitu saja.
Aku merasa
canggung jika Chitanda masuk ke kamarku, jadi aku menahan demam dan menemuinya
di ruang tengah. Ketika kita sedang mengalami kesakitan, tidak begitu mudah
untuk menemui tamu. Chitanda tentu paham ini dan segera kembali setelah
beberapa menit menyerahkan selai bagus tersebut. Hanya sebentar saja, memang,
tapi bagaimanapun juga dia sudah pernah datang.
“Ini sulit… Aku
tidak enak dengan Mayaka-san dan yang lain, tetapi mereka tidak akan tahu kalau
kita tidak mengatakannya.”
Aku tidak
menjawabnya sambil terus melihati ceret.
Tidak
berjalan mulus sama sekali, jadi aku menjadi gugup.
Dia bilang
mereka tidak akan tahu selama kita tidak memberi tahu mereka, tetapi pada
kenyataannya, Chitanda lebih menggunakan
tindakannya dibanding kata-katanya untuk memberi tahu kalau dia sudah pernah
datang ke ruang tengah ini sebelumnya.
Pesta ini
hampir mencapai klimaksnya. Lekas waktunya untuk kuenya agar muncul. Saat itu,
beberapa lilin akan ditempelkan lalu dinyalakan. Oohinata sudah membawa korek.
Chitanda
mungkin sudah memikirkan susunannya sampai sini. Akan lebih cocok kalau semua
lampu dimatikan sambil lilinnya menyala. Itu tujuannya, kan?
Itulah
kenapa kucing keberuntungannya tetap berada di meja.
Meskipun
asbak, buku, dan remot televisi semuanya sudah dipindahkan ke bupet, hanya
kucing keberuntungan yang tetap di situ. Hanya
perbuatan seseorang yang sudah tahu tentang kemampuannya untuk mematikanlampu. Dengan
kata lain, akan menunjukkan kalau seseorang di antara empat mereka sudah pernah
datang ke rumah ini sebelumnya.
Kenyataannya,
ketika Chitanda datang ke ruang tengah ini sebelumnya, ruangannya gelap jadi
aku memencet tangan kucing keberuntungan untuk menyalakan lampu. Chitanda tidak
akan melupakan itu.
Apa yang
akan terjadi jika Chitanda menggunakan tangan kucing keberuntungan untuk
mematikan lampu? Ibara, atau mungkin Oohinata, mungkin akan mengatakan sesuatu
seperti ini:
“Ya ampun,
jadi fungsi kucing keberuntungan sebagai remot, ya? Pantas saja tertinggal di
meja. Tetapi tunggu dulu, bagaimana kau tahu kalau ini sebuah remot? Kalau
begitu, Eru Chitanda, kau tidak hanya pernah datang ke rumah ini, ke ruang tengah ini, tetapi kau juga melihat
kucing keberuntungan digunakan sebagai remot lampu, kan?!”
Karena
Chitanda tetap diam ketika datang dengan mereka ke rumahku, tentu saja
seharusnya dia juga tadi memindahkan kucing keberuntungan ke bupet.
Saat itu,
bagaimanapun, aku tidak bisa mengatakannya. Lilinnya akan segera muncul, yang
berarti begitu pula kucing keberuntungannya. Jika aku mengatakan kesalahannya
dan bertindak mencurigakan pada hasilnya, akan menjadi rumit. …Saat aku
memikirkan ini, aku sadar diamku tentang kunjungan menjenguknya bukan karena
“kesempatannya terlewat olehku”. Yang kami lakukan sangatlah curang,
bagaimanapun juga… Sangat aneh.
Ketika aku
memikirkan ini, aku tidak bisa menahan mengeluarkan senyum kecil. Menyadari
ini, Chitanda bertanya padaku.
“Kenapa?”
“Yah…”
Ketika aku
mau mengatakan kalau tidak apa-apa, aku ingat sesuatu yang tiba-tiba masuk ke
pikiranku.
“Mungkin
saja kalau Oohinata tidak menganggap ceritamu tadi.”
“Wha…”
Aku berbalik
dan mencoba menunjukkan senyuman dengan suatu maksud, tetapi aku tidak bisa
melihat wajahku sendiri jadi aku tidak tahu akan bagaimana hasilnya.
“Apakah
mengatakan ‘aku meminta tolong Souda’ terdengar seperti sebuah kebohongan?”
Chitanda
mencoba memaksa tersenyum meskipun wajahnya bingung.
Ceretnya
mulai berbunyi keras sampai ke teriakan nada tingginya.
12 Comments
Nice gan :3
ReplyDeleteDitunggu cendolnya gan :p
DeleteMasih berlanjut min ?
ReplyDeleteMasih, dan masih agak panjang...
Deletetq min... di tunggu klanjutannya.
ReplyDeleteYuppp
DeleteTranslatenya bagus min, makasih min. Semoga chapter selanjutnya cepet di upload ya min. Semangat min ��
ReplyDeleteThanks, maaf ya tiba2 ngga rutin nerjemahin ini
DeleteLanjutkan min.... 👍👍 Ditunggu chapter berikutnya...
ReplyDeleteChapter selanjutnya, 2-3, udah keluar tuhh hhe
DeleteEh aku kira capter ini blm ada..
ReplyDeleteArigatou min
lanjut min ditunggu volume 6 indonesianya katanya udah rilis tapi masih bahasa inggris
ReplyDelete