Pertama-tama,
kita perlu sadar bahwa umat manusia dilahirkan dengan masing-masing kondisi
yang tidak sama. Beberapa orang dapat menggunakan mobil pribadinya sejak
remaja, beberapa memasuki usia senja dan masih pusing memikirkan harus makan apa
besok.
Kalau dia saja bisa, kenapa kau
tidak?
Ada kesalahan persepsi yang diambil sebagian orang dalam melihat proses
perkembangan individu. Mereka yakin bahwa kita semua memulai start kehidupan dari titik yang sama
tanpa melihat faktor-faktor lain. Kita tidak tahu orang yang berjualan makanan kecil
di jalanan, apakah dia sebelumnya orang berkecukupan yang menghambur-hamburkan
uangnya dan menghabisi masa mudanya dengan mabuk tiap hari sampai-sampai bangkrut? Atau dia memang
mewarisi pekerjaan itu dari orang tuanya sejak kecil?
Karyawan di
suatu perusahaan dapat membeli mobil dan rumah mewah atas hasil kerja kerasnya
selama ini. Sementara kawan kantornya yang memulai bekerja dan mempunyai jabatan yang sama di kantornya, hanya mempunyai sebuah rumah sederhana. Kita jarang
memperhitungkan bahwa kawan kantornya itu harus menghabiskan sebagian besar
gajinya untuk (mungkin) membiayai perawatan istrinya yang terkena kanker semenjak
tahun-tahun awal mereka menikah.
Kenapa dia bisa menunggangi mobil
mewah tiap harinya tapi kau tidak? Bukankah seharusnya kau juga berhak untuk
mempunyai mobil mewahmu sendiri?
Dan
ternyata, untuk sekarang menggunakan contoh “mobil” adalah masih berlebihan.
Bertahun-tahun
lamanya umat manusia menghadapi 2 peristiwa berbeda yang apabila dikaitkan akan
menimbulkan sebuah ironi: bagaimana kita terus memproduksi jumlah makanan lebih
dari cukup untuk menghidupi seluruh individu di dunia, namun di sisi lain masih
banyak juga orang yang menderita bahkan mati disebabkan kelaparan dan
kekurangan gizi.
Menurut PBB,
pada tahun 2016 sebanyak 815 juta orang menderita kelaparan yang mana mirisnya
jumlah ini meningkat 38 juta orang dari tahun 2015. Jumlah tersebut sama dengan
11 persen populasi di dunia. Bahkan tercatat 6 juta anak meninggal setiap
tahunnya karena kekurangan gizi. Di Indonesia sendiri, ada 19,4 juta penduduk
yang masih kelaparan setiap harinya.
Itulah waktu
ketika Sosialisme (seharusnya) datang; sistem ekonomi yang mengatur bahwa hasil produksi
dari pabrik maupun sawah/ kebun harus dikelola secara kolektif atau bersama-sama
demi kepentingan semuanya. Sosialisme hadir sebagai bentuk protes keras terhadap
kapitalisme. Dianggap kapitalisme yang mendukung pasar bebas adalah dalang
utama penyebab kesengsaraan masyarakat banyak. Indonesia di awal pasca
kemerdekaannya pun menuju pada terciptanya sosialisme:
“Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’.” (Sukarno, 1964)
Sukarno menciptakan sosialisme yang
disesuaikan dengan sifat dan kultur kondisi masyarakat Indonesia sendiri, yaitu
Marhaenisme. Sukarno sadar bahwa rakyatnya saat itu selalu hidup dalam
cengkeraman para borjuis dan kapitalis. Marhaenisme diambil dari kata Marhaen,
nama seorang petani yang pernah dijumpai Sukarno. Marhaen mempunyai faktor
produksi yang cukup (lahan, cangkul, dll.) namun hasil taninya hanya dapat
memenuhi kebutuhan keluarganya dengan sederhana.
Ada beberapa proses yang harus dijalani
terlebih dahulu untuk sebuah negara menerapkan sosialisme. Telah terbangun
faktor produksi yang mumpuni dan tingkat wawasan rakyatnya yang cukup adalah unsur
dasarnya.
"Kuulangi bahwa aku mendjadi sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak mendjadi Komunis. Masih sadja ada orang jang berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan memekik, ,,Haaa, saja sudah tahu ! Bahwa Bung Karno seorang Komunis !'' Tidak, aku bukan Komunis. Aku seorang SosiaIis. Aku seorang Kiri. Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang.
Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme. Bagaimana suatu negeri jang miskin menjedihkan seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran lain ketjuali haluan sosialis ? Mendengar aku berbitjara tentang demokrasi, seorang pemuda menanjakan apakah aku seorang demokrat. Aku berkata, ,,Ja, aku pasti sekali seorang demokrat." Kemudian dia berkata, ,,Akan tetapi menurut pandangan saja tuan seorang sosialis." ,,Saja sosialis, djawabku. Ia menjimpulkan semua itu dengan, ,,Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat."Mungkin ini salah satu djalan untuk menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain didunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne jang dikurangi dengan pengertian rnaterialistisnja jang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa jang terutama takut dan tjinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu tjampuran. Kami menarik persamaan politik dari Declaration of Independence dari Amerika."
(Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat; Biography as Told to Cindy Adams bab 7.)
0 Comments