· Chapter 1: Meja Pendaftaran Ada di Sini
3. Sekarang:
4.1km; Masih 15,9km Lagi
Di penghujung
hari, teoriku mengenai makanan beracun sebagian besar memang benar, tapi
hipotesis Chitanda tentang mereka yang tidak mendapatkan tumbuhan gunung tepat
waktu sepertinya juga cukup benar.
Klub memasak
telah gagal menyiapkan tumbuh-tumbuhan tersebut. Sepertinya pada awalnya mereka
ingin membuat sebuah masakan sup miso dari tanaman pakis, tapi ketika beberapa
anggota klub mencicipinya saat waktu makan siang, mereka mengeluh kalau perut
mereka menjadi sakit.
Jika mereka benar-benar
berniat untuk menyembunyikan kesalahan mereka, maka kemungkinan besar kalau
anggota mereka yang mengeluh sakit tidak minta pertolongan ke UKS. Saat aku
mengatakan ini, Chitanda langsung bergegas berlari. Aku rasa dia tidak
menganggap enteng tentang makanan beracun dari tumbuhan gunung.
“Chitanda-senpai
tanpa ragu-ragu masuk ke Ruang Latihan Memasak. Awalnya para anggota Klub
Memasak pura-pura bingung, tapi saat mereka tahu kalau dia sudah mengetahui
semua yang telah terjadi, mereka menyerahkan para anggota yang perutnya sakit.
Sepertinya dia mengenal beberapa orang di klub, jadi semua itu berjalan lebih
cepat dari yang diperkirakan.”
“Chitanda punya
banyak kenalan di mana saja. Jadi, bagaimana keadaan para anggota yang terkena
racun itu?”
“Tidak
begitu baik. Sepertinya mereka sangat ingin segera pulang ke rumah dan
beristirahat. Tapi mereka tahu kalau mereka tidak bisa melakukannya. Saat dia
melihat mereka lagi, Chitanda-senpai langsung bergegas keluar dari ruang kelas
dan membawa beberapa siswa yang sepertinya bercita-cita menjadi dokter. Rupanya
keluarganya bekerja di rumah sakit, dan dia terlihat keren, meski sepertinya
dia sangat jengkel akan situasi ini.”
Sangat mirip
dengan Irisu-senpai. Oohinata bilang kalau dia terlihat jengkel, tapi mungkin
dia sama seperti bagaimana dia biasanya.
“Dia mengobati
mereka menggunakan air garam lalu memberitahu ke yang lain untuk membawa para
siswa tersebut ke tempatnya jika kondisi mereka semakin memburuk. Bagaimanapun
juga, membawa mereka ke rumah sakit hanya akan membuat situasi rumit.”
“Aku rasa
jika mereka teracuni oleh makanan, maka dokter akan melaporkannya ke UKS
sekolah.”
“Aku ragu jika
mereka bakal melakukannya. Bukankah ada kerahasiaan antara dokter dengan pasien
atau sesuatu seperti itu?”
“Aku tidak
tahu.”
“Yang
terpenting, untungnya para anggota tersebut pulih kembali.”
Itu
melegakan.
Klub Memasak
berhasil menyembunyikan kelalaian mereka. Berdasarkan penjelasan Oohinata,
Chitanda mengajari seluruh anggota Klub Memasak bagaimana cara yang baik untuk menangani
tumbuhan gunung sebagai konsekuensi tindakan mereka yang tidak bertanggung
jawab. Aku yakin kalau saat ini tidak akan ada yang datang ke meja Klub Klasik,
jadi aku mengeluarkan bukuku dan melanjutkan membaca.
Akan tetapi
aku hanya berhasil menyelesaikan satu paragraf, karena Oohinata mulai bicara
lagi, menunjukkan giginya dalam senyum ringan yang mengingatkanku pada senyumannya
yang dia tunjukkan tadi saat pertama kali aku melihatnya.
“Aku akan
bergabung dengan klub ini. Namanya apa tadi?”
Chitanda
saat itu bertanya.
“Apa kau
yakin? Kami bahkan sama sekali belum menjelaskan apa yang kami lakukan.”
“Aku yakin.”
Dia
melihatku dan Chitanda lalu tersenyum sekali lagi.
“Di sini terasa
ramah. Melihat orang-orang menikmati waktu bersama teman-temannya merupakan hal
yang paling ku suka di dunia ini.”
Aku tidak
ingat aku menjawabnya apa.
Lereng yang
menanjak mulai menjadi terjal, banyak siswa yang melewatiku sambil berusaha menghirup
oksigen yang terasa semakin sulit. Pada awalnya aku tidak menginginkannya, tapi
tanpa aku sadari, perlahan irama langkahku menjadi semakin pelan. Aku rasa aku
terlalu terbalut dalam pikiran sehingga memudarkan perhatianku kepada kecepatan.
Seorang anak
laki-laki yang pernah sekelas denganku tiba-tiba melewatiku. Jika aku
mengingatnya dengan benar, tahun ini dia berada di kelas 2-C. Kelas C mulai mengejar.
Sampai sekarang aku bahkan belum menyadarinya, kalau mungkin mereka lebih dekat
dibanding yang aku perkirakan.
Ketika aku
melihat sekeliling untuk mencari Ibara, aku bisa melihat sebuah barisan panjang
para siswa yang berlari di jalanan lereng, mengekor layaknya sebuah pawai semut
yang bekerja keras. Jika aku terus berjalan dengan pelan seperti belalang,
mungkin aku akan berakhir menjadi anjing yang mati saat barisan tersebut
menyalipku. [Referensi dari fabel “The Ant and the Grasshopper.” Ceritanya
tentang seekor belalang yang mati karena terlalu sibuk bersenang-senang,
bukannya mengumpulkan persiapan untuk musim dingin seperti yang si semut
lakukan.] Ketika aku menghadapkan kepalaku ke depan, ujung bukitnya langsung
terlihat. Akan tetapi, sepertinya aku akan terus berjalan. Aku tidak bilang kalau
aku tidak memperkirakan kalau akan seperti ini, tapi usahaku untuk mengukur
jarak antara Ibara dan diriku jelas-jelas gagal.
Untuk menebus
kegagalan ini, aku berlari dengan cepat di bidang kecil pada lereng yang landai,
yang tersisa sebelum sampai ke puncak. Penglihatanku akhirnya terbuka luas, aku
merasakan sedikit udara dingin yang bisa muncul dari imajinasiku. Aku pikir
lerengnya akan langsung menurun saat aku sudah mencapai puncak, tapi sepertinya
aku salah ingat. Jalannya berlanjut sepanjang 100 meter di ketinggian yang
sama. Ada sebuah miniatur kuil di samping jalan. Aku tidak tahu dewa apa yang
diabadikan di dalamnya, tapi sebenarnya di dalam hatiku, aku merasa lebih baik jika
berdoa. Bagaimanapun juga, banyak pertanyaan tak terjawab yang masih terpampang
di depanku. Kebaikan dalam beragamaku biasanya datang di saat situasi-situasi
sulit seperti ini.
Kedua sisi
jalan melebar, aku tahu dari warna pada dinding-dinding mereka yang tersebar
pada beberapa rumah tua. Ada sebuah vending
machine baru di antara rumah-rumah tua tersebut sehinga terlihat seperti salah
tempat.
Aku berjalan
pelan pada jalan yang datar. Karena itu tempat berteduh tepat setelah bukit
yang sangat melelahkan, siswa lainnya juga banyak yang berjalan. Seorang siswa
bertubuh besar datang seakan-akan dia terus berlari sepanjang jalan dari bawah
bukit, dan dia mengambil nafas dengan terengah-engah sambil berdiri, lalu
membungkuk sambil memegangi lututnya. Aku penasaran apakah dia telah memilih
untuk menggunakan seluruh tenaganya pada satu bukit ini atau dia berencana untuk
menjaga langkahnya tetap stabil sampai selesai.
Aku tidak
punya bukti, tapi aku menentukan untuk berpendapat kalau Ibara tepat di
belakangku. Jika dia akan melewatiku sekarang, melakukannya pada jalan setapak
akan lebih bagus. Mencoba untuk berbicara dengan seseorang ketika mereka sedang
melewatimu di lereng yang menurun sepertinya terasa agak sulit. Supaya itu
tidak terjadi, aku mulai bergerak dengan sangat pelan.
Ibara, huh?
Ketika Ibara
pertama mendengar kalau Oohinata bergabung, aku penasaran bagaimana reaksinya.
Aku ingat reaksi
Satoshi. Dia merayakan dengan berlebihan karena sebenarnya baru satu anggota yang
bergabung. “Memikirkan Houtarou bisa merekrut seseorang… Jujur saja, aku tidak
bisa membayangkannya. Ini benar-benar sebuah keajaiban.” …dan berbagai hal
seperti itu. Lalu Oohinata mulai bertanya bermacam-macam pertanyaan tentang SMP
Kaburaya, seperti apakah ada yang berubah atau apakah ada siswa yang pindah.
Di lain
sisi, aku tidak punya merasa kalau Ibara merasakan hal yang sama. Sebelum aku tersadar,
kalau mereka sudah menjadi teman akrab. Saat Ibara pertama kali bertemu dengan
Chitanda, mereka terikat dengan cepat. Mungkin itu karena, meskipun dia
terlihat seperti orang yang kasar terhadap orang lain, dia sama sekali tidak
malu. Meskipun Oohinata jelas-jelas lebih tinggi, rasanya aneh karena betapa
mudahnya untuk tahu siapa yang lebih tua ketika mereka berdua sedang berbicara.
Kapan itu
terjadi, aku penasaran.
“Hina-chan,
kau terlihat sangat atletis. Maksudku kau bahkan berkulit coklat.”
Ketika Ibara
mengatakan ini, Oohinata sedikit malu.
“Itu karena
aku bermain ski, tapi dari sananya aku memang mempunyai kulit yang gelap.”
“Oh, jadi
kau bermain ski, ya? Di dekat sini?”
“Kadang-kadang,
tapi tahun ini aku bermain di Iwate.”
“Tidak
bermain papan salju?”
“Tidak, aku
hanya bermain ski. Apa kau bermain papan salju?”
“Aku juga
tidak bisa melakukannya.”
Aku ingat
kalau itu percakapan yang menggelikan.
Di
ingatanku, aku bisa melihat mereka berdua tersenyum gembira.
Aku selalu melihat
ke belakang saat aku melanjutkan berjalan.
Prediksiku
benar. Saat aku di tengah perjalanan pada jalan yang datar, wajah Ibara muncul
dari belakang pada lereng yang menanjak.
Lengannya
menempel dengan pinggangnya, dan dia menghadap ke kakinya. Mungkin karena
kepalanya menunduk, jadi aku tidak bisa melihat matanya dengan jelas. Saat dia
mungkin sedang berlari di lereng dengan serius, aku bisa melihat dia terengah-engah.
Dia melangkah kecil, tapi saat jalannya tidak mendatar lagi, tangannya mulai
berayun dengan lebih bebas. Sampai dia berlari dengan irama yang tetap.
Aku juga
mengangkat tanganku dan segera berlari ke arahnya. Aku menyesuaikan langkahku
dengan Ibara dan bergerak ke sampingnya dengan jarak sekitar lebar satu orang
di antara kami.
“Ibara.”
Ketika aku
memanggilnya, hanya matanya yang bergerak untuk melihatku.
Tentu saja,
dia tetap diam dan mulai melanjutkan langkahnya lagi. Aku tahu ini akan
terjadi, jadi aku tanpa ragu langsung menuju ke permasalahan utama.
“Aku hanya
perlu bertanya satu hal, Ibara. Hanya satu hal. Ini tentang Oohinata.”
Bahkan,
Ibara tidak menggerakkan wajahnya sama sekali, akan tetapi aku bisa mendengar
sebuah kata saat dia menghembuskan nafas.
“Apa.”
Aku sudah menentukan
akan apa yang akan aku tanyakan.
“Kemarin,
kau berkata kalau kau melewati Oohinata di ruang masuk. Kau mendengar dia akan
keluar dari Klub Klasik.”
Ibara
mengangguk kecil.
“Saat itu,
Oohinata mengatakan sesuatu tentang Chitanda. Satoshi memberitahuku tentang
itu; dia bilang kalau Oohinata menyebut Chitanda ‘seperti seorang Buddha.’ Apakah
benar itu yang dia katakan?”
Pertama,
Ibara menghadapkan wajahnya ke arahku. Lalu, aku merasa seperti ada sebuah
tanda kebingungan di ekspresinya yang terluka.
Dia segera
mengembalikkan pandangannya ke kakinya dan berlari. Seakan-akan untuk menstabilkan
nafasnya kembali di bidang yang datar, dia mengambil nafas dalam-dalam.
Merasa kalau
berdekatan dengannya hanya akan menjengkelkannya, jadi aku sengaja agak jauh
darinya sembari kami berdua terus berlari, akan tetapi, tiba-tiba dia mendekat.
Di beberapa meter kemudian kami benar-benar berlari berdampingan, dia
mengatakan sebuah kalimat yang tidak bisa disela.
Langkahku
menjadi pelan. Ibara tetap dalam irama langkahnya dan akhirnya menghilang saat
dia turun dari lereng.
Perkataannya
masih terngiang di telingaku. Ibara tadi mengatakan ini.
“Itu keliru.
Apa yang Hina-chan katakan adalah, “Chitanda benar-benar terlihat seperti
seorang bodhisattva, ya.”
[Seorang
bodhisattva adalah sebuah istilah agama Buda yang merujuk kepada seseorang yang
telah mendapatkan pencerahan lewat keinginannya untuk membantu orang lain.
Mirip dengan seorang Budha, seorang bodhisattva biasanya dibedakan oleh
keputusannya (dan pengorbanan) untuk keluar dari surga dan kembali ke alam
duniawi untuk membantu yang lain supaya juga mendapatkan pencerahan.]
2 Comments
di tunggu lanjutanya
ReplyDeleteTerimakasih mau menunggu. Udah ada tuh lanjutannya, silakan cek :)
Delete