Cerpen - Perasaan Daun Yang Berjatuhanpun Masih Sama







"Perasaan Daun Yang Berjatuhanpun Masih Sama"

            Lagi-lagi hujan mengguyur keras permukaan tanah yang sedari tadi sudah lembap. Untuk kesekian kalinya banyak orang yang mengumpat kesal dalam hati, pekerjaan maupun aktivitas mereka jadi terganggu atau bahkan tertunda. Namun tidak berlaku untuk orang kantoran sepertiku, hujan malah membuatku sedikit lebih tenang untuk mengerjakan tugas kantor yang menumpuk sambil meneguk secangkir kopi hangat.

            Ku tengok jendela di samping, ternyata hujan sudah mulai reda pertanda petang mulai terjamah. Aku putuskan untuk segera pulang. Katanya  kebanyakan orang merasa tak beruntung saat turun hujan, ternyata hukum ini sedikit berlaku padaku. Di sore dengan gemericik gerimis yang mulai mereda aku berpapasan dengan seorang wanita yang benar-benar sedang tak ingin aku temui, wanita yang membiarkan rambutnya terurai pendek sebahu dengan name tag kantor bertuliskan: Aeris R. Hati kecil ingin menyapa tapi tak sepatah kata terucap.


“Ethan. besok pagi pergilah temani aku ke puncak, kau tak ada jadwal kan?” Ucap Aeris sambal menatap mataku dalam.

“Aku.. aku sepertinya ada sedikit lembur pekerjaan” Jawabku gelagapan mencari jawaban yang terdengar logis.


“Kenapa terus berbohong? Kau pikir aku tidak tahu?!” Ujar Aeris membentakku seraya memamerkan punggung belakangnya yang sedikit demi sedikit terlihat menjauh.


Bukan hal yang baru kejadian seperti ini terjadi, dan akan terulang entah sampai kapan aku serahkan pada waktu saja. Bukan masalah besar, kulanjutkan susuri langkahku melewati lobi sempitkantor. Benar-benar kuhiraukan sebagian kolegaku yang masih berpaku pada pekerjaannya. Bukan perihal angkuh diri ataupun sombong, namun mungkin aku terlalu acuh untuk sekedar tahu siapa nama mereka. Tepat berada di gerbang utama kantor, ah ternyata gerimis masih menghiasi..

Meski masih ada satu rintangan berat yang harus ku lalui, menunggu bis. Namun nampaknya kali ini keberuntungan berpihak, sudah ada bis mager yang kelaparan penumpang. Tanpa basa basi ku naiki bis itu, tanpa basa basi pula bis itu melaju bahkan sebelum aku sempat duduk. Aku mendapatkan tempat duduk di pojok belakang samping pintu. Ku amati bis ini hanya ditumpangi beberapa kuli bangunan yang tampak tertidur pulas dan dua wanita yang asyik mengobrol cukup lantang sampai akupun bisa mendengarnya. Sampai pada suatu pembicaraan mereka berdua yang agak menarik tuk rasanya didengarkan.



“Kenapa kamu masih berharap ke tokoh antagonis seperti dia sih?”

            “Sama sekali ngga berharap apa-apa kok, lagipula sebutan antagonis itu ngga pas, kita sahabat lama. Sudah berapa kali kubilang itu murni kecelakaan teknis lah, ngga mungkin sengaja”


            “Ya meski ngga sengaja pun dia yang salah kan, coba kalau dia ngga ngeyel maksa bawa adikmu ke RS, nunggu ambulance aja. Adikmu pasti ga bakal tiada,..Eh maaf Ris, malah jadi bilang gini..”


            “..Ya kamu ada benarnya juga sih, rasanya ironi aja semuanya berubah semenjak itu. Lagian ini bagian dari janji yang pernah ada”


“Yee bawa-bawa itu lagi. Emang apa pengaruhnya ke hidup kamu sih Ris?”

            “Aku sekedar ngga mau jadi penghianat sih, hahaha. Eh ga terasa deh udah hampir sampai rumah, duluan yaa”


Kini seorang wanita tak terelakan lagi beranjak dari tempat duduknya menuju ke pintu belakang dan bersiap turun itu tidak lain adalah seorang wanita yang masih terngiang dalam pikiran sejak sore tadi. Seorang wanita yang sempat bersama kala habiskan waktu sekedar atas nama persahabatan, semakin mendekat ke raga yang dilanda bermacam rasa ini.

Kata-kata yang ingin sekali rasanya ku tumpahkan tak lagi kan ku jaga, gegara ini pula aku menjadi orang seperti ini, biar ku katakan tanpa peduli reaksi perasaannya. Tanpa komando lagi aku berdiri tepat di depannya, tepat kedua mataku menghujam tajam kedua bola mata lebarnya yang memberikan isyarat kaget atas kehadiranku.

“Aeris.. ikatan sahabat kita,.. apakah masih bisa dipulihkan dalam waktu sesingkat ini?”
 



***
          Desa Spira, namun lebih banyak yang mengenalnya dengan nama Bukit Spira. Tempat dimana daun berterbangan jatuh dari ranting pohonnya berserakan menutupi jalan setapak yang dilalui para pemuda pemudi yang mondar mandir nampak terkesan akan pemandangan yang terpampang jelas sepanjang jalan. Bahkan banyak kerumunan orang tua yang bertaburan menghiasi tiap ujung tempat peristirahatan.  Bertaburan pula anak-anak kecil yang tak mau kalah memenuhi tempat bermain di taman singgasana ini. Tak pernah sekalipun terbesit pertanyaan kenapa mereka semua terlihat sangat bahagia, mereka semua yakin bahkan burung-burung yang ada di ranting-ranting pepohonan ini pun tahu jawabannya, musim gugur adalah musim penghantar rasa bahagia.


Tak terkecuali gadis kecil dengan rambut kucir dua yang berlarian mengejar kupu-kupu, berharap setidaknya menangkap satu. Terengah-engah namun pancaran kebahagiaan terpancar di wajahnya, tiba-tiba matanya menangkap seorang teman sebayanya menangis di bawah pohon besar tempat peristirahatan. Keheranan ia pun menanggalkan tongkat penangkap kupu-kupunya dan menghampiri anak lelaki tersebut.
“Hei ini bukan saatnya menangis!” 

“…” Anak laki-laki tersebut sama sekali tak bergeming dari duduknya


“Aku hanya ingin membantumu, kenapa kau menangis?”


“..Semuanya pergi.. tak ada yang sudi bermain bersamaku”


“Kenapa? Kalau begitu ayo bermain bersamaku saja!”


“Tapi aku hanya ingin di sini, tak ada yang mau menemaniku untuk sekedar hanya di sini”


“Tentu saja! Cobalah untuk menangkap kupu-kupu atau semacamnya, semuanya sedang bersenang-senang. Duduk di sini saja pastilah membosankan”


“Kau sama dengan mereka, pergilah”


“Kalau begitu siapa namamu?”


“Ethan”


“Perkenalkan namaku Aeris. Ethan, tahukah kamu apa hal yang terpenting dalam hidup ini?”


“Ku rasa aku tak perlu tahu”  “.….”  “Hmm..mungkin teman?”


“Bukan. Ada yang lebih utama daripada itu. Janji”


“Ehh? Kenapa malah hal konyol seperti itu?”


“Ya. Janji untuk tetap bersama dan ada saat kita saling membutuhkan. Ethan, apa kau mau ku ajari apa ikatan janji itu sebenarnya?”


“…Kalau begitu berjanjilah padaku jangan pernah tinggalkan aku sendiri!”


Jari kelingking mereka saling bertautan lembut membentuk sebuah janji, janji dari dua anak kecil yang keduanya saling tak mengerti apa yang sebenarnya mereka telah lakukan. Janji yang dibuat dari dua insan anak yang mereka sendiripun belum cukup dewasa untuk saling menyerapi makna janji yang telah mereka ukir bersama.

***


“Ethan, seandainya saja engkau tak telat mengetahui.. bahwa waktuku untukmu sama sekali tak terbatas”

Sama sekali tak ku ketahui bagaimana harus bereaksi, dan entah kenapa tiba-tiba terngiang akan lagu yang sangat hangat tuk dinyanyikan bersama kala itu.


   The sun is hot, but your heart is frozen
            Everything is the same, but we’ve changed
            Whose fault is this?
            But I still love you


Dan semuanya tak ada yang kunjung berubah, segala sesuatu yang telah terjalin ini tak berjatuhan layaknya dedaun pada musim gugur. Seorang laki-laki ini dan gadis itu.. semuanya masih sama.





2 Comments

  1. keren kalo dibikin long story atau novel...girl who can't breakup boy who can't leave?

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin mendingan ya daripada kaya gini alurnya terlalu cepat ehehe.. eh iya! kok tau aja :D

      Delete
Previous Post Next Post