Sinisnya Rokok Lembap





Di pagi yang tidak terlalu cerah ini, aku berjalan menuju sudut desa, seperti biasanya. Tidak memerlukan waktu lama sampai akhirnya sampai di tepi sungai yang jernih, hingga dangkalnya pun terlihat dengan jelas, di mana bermacam-macam ikan kecil bergantian sekilas menghiasi pandanganku. Inilah perasaan berada di sini yang sangat kucintai – sejuk, indah, tenang dan bahkan damai, mungkin. Mereka mengingatkanku akan sesuatu.. Mereka jugalah alasan kenapa akhir-akhir ini, di hari-hari menuju akhir seperti ini; banyak hal yang harus kulakukan, tetapi malah masih saja rutin mengunjungi tempat ini. Salahkah? Heh.. sepertinya iya
Kedatanganku ke tempat ini membuat kepalaku terisi dengan banyak bayangan semacam de javu.  Tetapi tentu ini berbeda, ini adalah salah satu bagian hidupku yang nyata, di masa lalu. Sebenarnya aku ragu apakah aku sanggup mengutarakannya dengan fokus berurutan, apalagi harus mengekspresikannya dengan apik juga rapi. Toh, aku bukan seorang pujangga atau apa pun orang menyebutnya; jadi bukan masalah, ya? Tetapi kembali ke perkataanku tadi, akan tempat ini, entah kenapa… aku menjadi teringat sesuatu. Sesuatu yang membuatku nyaman meski suara-suara dunia sangat berisik nan tak kunjung berhenti; aku teringat dengannya.



Segera kujatuhkan badanku di bawah pohon kelengkeng yang tidak begitu besar, menyandarkan punggungku ke batangnya. Kuraba saku celana jeansku, menggunakan tanganku, mengeluarkan bungkus rokok yang dengan warna dominan merah. Kenikmatan berada di sini tidak akan lengkap tanpa ini. Lantas kunyalakan rokok yang sudah menempel di bibirku, setelah kuambil sebatang dari bungkus tadi juga korek api usang pemberian teman lamaku. Ah.. rasanya sudah menjadi kebiasaan saja, nikmatnya..
Dulu, di hari-hari itu, aku duduk di sebuah ruang mendengarkan banyak orang bergantian berbicara. Untuk sebuah alasan yang juga tak kuketahui, aku tetap saja di situ. Di situlah pertama kali aku melihatnya, juga mungkin hanya di situlah aku bisa melihatnya. Ketika pertama kali aku melihatnya, seratus persen aku yakin ada sesuatu yang berbeda dengannya, atau barangkali dia yang berbeda, eh? Jadi dengan berusaha tidak begitu mencolok, aku terus memandangnya, meski di sini aku lebih suka diksi mengobservasi. Kedamaian, ketenangan, dan… entahlah lah apa lagi yang terus muncul, perlahan kudapat dari pengamatanku ini. Hah... tiba-tiba aku sangat berlebihan? Eh tetapi, aku juga membencinya, ketika tiba-tiba dia berpaling dan menghadapku, lalu menyimpulkan bibirnya untuk tersenyum kecil kepadaku. Ada apa?



Belum cukup lama mengeluarkan asap jahat dari mulutku ini, kuambil bungkus rokok yang tergeletak begitu saja di sampingku. Sambil terus menghisap batang rokok yang masih hampir utuh seluruhnya, kubaca tulisan kecil yang terpampang di bungkusnya. Tertulis di situ tentang bermacam bahaya mematikan yang diakibatkan dari merokok. Di atasnya, ada semacam gambar tenggorokan perokok yang sudah veteran. Sangat menjijikan, pikirku. Bukannya aku baru tahu tentang bahaya merokok, kuyakin semua perokok pasti juga sudah tahu. Bagaimanapun juga, aku suka lupa dengan bahaya yang ada dalam rokok ini ketika sedang menikmatinya. Bahkan sekalipun aku mengingatnya, mengetahui dan sadar sepenuhnya, seperti kebanyakan perokok yang lain, persetan.. siapa yang peduli, kan?
Di ruang dan tempat yang masih sama ini, aku sempat mengenal seseorang yang menyukai seri novel yang juga kusukai; Sherlock Holmes. Kami gemar membicarakan cerita-cerita jenius yang dinarasikan dengan baik itu, serta mengagumi betapa kerennya tokoh Sherlock itu sendiri. Sampai ke suatu scene di dalam film itu dimana Sherlock mengatakan bahwa cinta adalah sebuah kelemahan, kelemahan yang sangat berbahaya. Haha... mungkin Sherlock baru saja patah hati tepat sebelum mengatakannya.



Tiba-tiba, angin berhembus dengan sangat kencang. Api kecil yang menyala di batang rokokku, yang tinggal sepertiga ini, jadi mati. Aku coba nyalakan lagi dengan korek api yang tadi, tetapi angin ini terlalu besar. Aku tidak bisa menyalakannya lagi. Ini bukan angin biasa, aku tahu betul. Angin ini bermuara dari dalam sungai yang sedari tadi telah kupandangi. Ada sesuatu yang tidak beres dengan sungai ini, aku sangat penasaran. Aku mencoba mendekat, sampai-sampai tanpa kusadari lututku sudah ikut basah.
Aku mengatakan apa yang tidak kumengerti, dan memikirkan apa yang tidak pernah terlintas. Aku hanya sanggup mendengar. Apa-apaan dengan kata-kata tadi? Rasanya seperti bermimpi, atau menjadi aktor dalam sebuah film; antara keduanya. Gadis yang tadi ada di benakku, tidak lebih dari sebatas anganku saja. Pun dengan setting tempat yang kuceritakan. Aku dapat merasakan tanganku yang gemetar, tetapi kakiku mati rasa. Aku cemas.



Aku tidak bisa membuka mataku, akan terasa perih. Karena aku tidak bisa berenang, jadi tubuhku hanyut begitu saja terbawa derasnya sungai. Sejak kapan ini terjadi? Pandanganku yang sepenuhnya sudah gelap diikuti tubuhku yang mulai tak merasakan apa-apa, setelah berulang kali menahan sakit terus terbentur bebatuan. Sepertinya ini ujung dari sungai, seperti laut. Tidak ada lagi arus deras yang menarik tubuhku ke mana pun.
Karena kuanggap terlalu aneh dan tiba-tiba. Dengan penuh harapan yang naif aku berdoa, semoga ini mimpi.



***
Aku tidak sebodoh itu untuk berpikir bahwa apa yang baru saja terjadi adalah angan-angan belaka. Sakit yang tadi kualami benar-benar terasa di tubuhku. Entah berapa lama waktu yang telah terlewat. Aku merasakan keberadaan beberapa orang di sekitarku. Tempat aku tergeletak cukup empuk; aku ditidurkan di tempat tidur.
Dia sudah sadar! Lihat, lihat!
Kemari, dia mulai bergerak!
Syukurlah!
Ingin aku kabarkan kepada mereka bahwa aku baik-baik saja. Jadi kucoba membuka kedua mataku. Eh?
Dari yang gelap, kini masih gelap. Mungkin mataku sedang dalam perawatan sehingga kini ditutupi kain atau perban. Aku masih berpikiran positif.
Maka aku coba melontarkan sesuatu dari mulutku, tetapi tak ada suara yang keluar.

Bagaimanapun, suara di luar sana, tidak hening.


6 Comments

Previous Post Next Post